Ada dua hal yang selalu dijaga dan diperhatikan oleh orang Madura, yaitu watak dan sifat. Orang Madura sendiri membedakan antara watak dan sifat seseorang. Sifat (sepat) merupakan dasar watak yang dibawa sejak lahir, sehingga ia menjadi ciri khas seseorang yang dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Ia tidak terlalu dipengaruhi oleh adat atau tatakrama.
Sedangkan watak (bhabhateg) diperkirakan sebagai sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, tingkah laku, budi pekerti, dan tabiat. Hal ini sering disebut dengan kepribadian atau karakter. Ini banyak dipengaruhi oleh adat, aturan, dan tatakrama setempat. Kedua hal tersebut (sifat dan watak) selalu membentuk gaya seseorang dan mempengaruhi caranya beradat istiadat. Ada ungkapan menarik bagi orang Madura mon babhateg masok ka oteg ta’ kenning teg-oteg, ngalendhi (jika watak sudah mengakar di otak, tidak bisa diubah oleh apapun dan oleh siapapun).
Kesopanan merupakan salah satu adat atau tradisi yang penting bagi orang Madura. Kesopanan itu berkaitan dengan pemenuhan aturan yang sudah menjadi adat kebiasaan yang meliputi hubungan antar generasi, pangkat, jenis kelamin, baik secara sosial maupun pribadi. Mereka yang melanggar aturan ini akan mendapatkan cemoohan dan mereka akan diklaim sebagai ta’ tao battonna langghar, yakni orang yang tak pernah masuk langgar dan mengaji, sehingga ia tidak tahu tatakrama kesopanan.
Kesopanan ini sering diajarkan oleh seorang bapak sebagai kepala keluarga di setiap saat terutama ketika menjelang istirahat malam sebelum anak-anak mereka tidur, biasanya melalui cerita-cerita sebagai pengantar tidur sang anak dan yang terpenting melalui contoh langsung dari sang Bapak (uswatun hasanah). Nasehat yang sering diungkapkan oleh bapak kepada anaknya antara lain bagaimana seharusnya sang anak bisa “ajagha aeng e dalem genthong”, yakni keharusan menjaga adat kesopanan dan norma-norma, serta tidak melakukan hal-hal yang berlawanan dengan adat supaya tidak mencemarkan nama baik keluarga.
Orang Madura dalam menilai seseorang bukan hanya sekedar penilaian lahiriah yang berdasarkan ketampanan atau kecantikan belaka, tetapi yang terpenting adalah tatakramanya. Hal ini sering diungkapkan oleh para orang tua pada anak-anaknya “mon oreng reyah benne bhaghusse, tape tatakramana, sanajhan bhaghus tape tatakramana jube’, ma’ ceya ka ate”, bagi orang Madura yang terpenting bukan ketampanan dan kecantikannya, tapi tatakramanya, sekalipun ia tampan dan cantik tapi tatakramanya jelek bisa membuat hati galau (eneg).
Terdapat pula nyanyian yang sering dilagukan orang tua Madura ketika menggendong putra-putrinya “peng pelo’ ta’endhe’ nyimpang lorongngah, peng pelo’ lorongngah e tombuih kolat, peng pelo’ ta’ endhe’ ngala’ toronnah, peng pelo’ toronnah oreng ta’ pelag”. Ungkapan tersebut menandakan betapa orang Madura sangat menghargai kesopanan dibandingkan ketampanan dan kecantikan wajah seseorang. Sekalipun orang tersebut tampan atau cantik dan kaya raya tapi tidak memiliki kesopanan dan tatakrama, maka sesungguhnya ia tidak ada artinya di mata orang Madura. Itulah kemudian mengapa para orang tua di Madura selalu menekankan dan mewantiwanti para putra-putrinya agar mereka selalu andhep asor menghormati orang lain dan mampu memposisikan dirinya pataoh ajhalan, pataoh acaca, pataoh neng-enneng, kennengna kennengi, lakona lakone.