Siapakah sosok KH. Nurhasan Al-Ubaidah yang fotonya terpampang di rumah warga LDII?
Almarhum KH Nurhasan Al Ubaidah adalah
pendiri Pondok Pesantren LDII, Banjaran, Burengan, Kediri, seorang ulama
besar yang selama 11 tahun belajar ilmu agama di Makkah dan Madinah.
Lahir di Desa bangi Kediri Jawa Timur (1908).
Beliau menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Beliau menguasai Qiroah Sab’ah, yaitu bacaan Nafi’ Al
Madani, Ibnu Katsir Al Makki, Abu Amr Al Bashri, Ibnu Amir As Syami,
Ashim Al Kufi, Hamzah Al Kufi, dan Ali Al Kisa’i. Masing-masing guru
tersebut memiliki dua murid yang sangat terkenal, sehingga bacaannya
diistilahkan 21 bacaan.
Beliau juga menguasai 49 kitab-kitab
hadits lengkap dengan ilmu alatnya. Diantara guru-guru belaiu adalah:
Imam Abu Samah (Muhammad Abdul Dhohir ibn Muhammad Nuruddin Abu Samah
At-Talini Al-Mishri Al-Makki), Syekh Umar Hamdan (Abu Hafs Umar ibn
Hamdan ibn Umar ibn Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi Al-Maghribi al-Madani
Al-Maki rahimahullah), Syekh Yusuf, dan lain-lain..
Pengalaman Pesantren
- Pondok Semelo, Nganjuk (sufi)
- Pondok Jamsaren, Sala
- Dresmo, Surabaya (belajar silat)
- Sampang, Madura (Kyai Al Ubaidah, Batuampar)
- Lirboyo, Kediri
- Tebuireng, Jombang
Kisah Kehidupan KH. Nurhasan Al-Ubaidah :
1929 : Berangkat haji pertama, mengganti nama menjadi Haji Nurhasan Al Ubaidah
1933 :
• Belajar hadits Bukhari dan Muslim kepada Syeikh Abu Umar Hamdan dari Maroko
• Belajar di Madrasah Darul Hadits dekat Masjidil Haram
Info lain :
• Berangkat ke Mekah tahun 1937/1938
• Tiba di Mekah, disaksikan oleh H. Khoiri Ketua Rukbat Nahsyabandi (asrama pemukim di Saudi Arabia)
1941 :
• Kembali ke Indonesia, membuka pengajian di Kediri
• Menikah dengan Al Suntikah Binti H. Ali dari Mojoduwur Jombang.
Banyak yang tidak mengetahui secara
benar siapa sebenarnya syeikh Nurhasan Al-Ubaidah bin Abdul Aziz
serta belum mengerti maksud dan tujuan dakwah tauhid-nya termasuk banyak
fakta tak terungkap yang tersembunyi kebenarannya, sehingga beliau
mendapat hujatan dan fitnahan dari orang-orang yang tidak senang kepada
beliau. Bahkan ada orang-orang ilmu agamanya masih sedikit berani
menghujat beliau, padahal info yang dimilikinya tentang H. Nurhasan dan
metode dakwah beliau, sangatlah minim info.
Sebagai contoh banyak yang tidak
mengetahui bahwa beliau menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang keras,
tegas, bahkan terkesan menyakitkan hati, padahal itu hanya bagian
metode dakwah, mengingat saat itu awalnya diajak dengan cara persuasif,
lemah lembut (untuk menetapi agama Islam secara Quran Hadits dan tidak
mengamalkan bidah, khurofat, tahayul, dll serta ajakan bersatunya umat Islam)
namun tidak digubris, akhirnya ibarat menyelamatkan orang yang akan
celaka tertabrak kereta api, ya harus ditarik keras. Bayangkan kalau ada
yang mau tertabrak kereta kemudian mengingatkannya dengan pelan-pelan, “muuuaaaass awaaaa…aas ada kereta lewaaaa…t,…awaaaas tertabruuuakk…“. Ya, keburu ketabrak! ya nggak sih?
Akhirnya beliau syeikh Nurhasan
Al-Ubaidah menerapkan metode “babat alas” (periode 1950-1960), ibarat
membuka hutan untuk dijadikan perumahan, yaa tentunya semak-semak,
alang-alang, pohon melintang yang menghalangi jalan, dsb harus dibabat
dulu khan ? Setelah itu, baru proses penataan, dan selanjutnya
pelestarian. Nah, saat beliau menerapkan metode dakwah “babat alas”
inilah banyak orang yang sakit hati tidak menyadari sedang diselamatkan
“dari tertabrak kereta tadi” dan bukan malah bersyukur sudah diingatkan.
Akhirnya membuat fitnah dan hujatan-hujatan. Dan, metode babat alas
sudah ditinggalkan sejak tahun 1960. Bahkan pada tahun 1970 beliau
mengajak bersatu kepada umat Islam Indonesia berupa selebaran yang
dikirim ke seluruh penjuru Jawa mulai tingkat kecamatan s/d menteri
sehingga membuat gempar di masyarakat.
Fakta lainnya contoh lagi, bahwa beliau
bukanlah orang yang senang berbantah-bantahan dalil dan merasa pol
sendiri, tentunya ini demi kerukunan sesama muslim dan menghormati
keyakinan masing-masin. Ini cerita dari Cak Thohir, “saat pak Nurhasan
diberitahu oleh H. Arifin dan Pak Husein di bahwa para kyai dan ulama
yang pinter-pinter sudah berkumpul ingin berdebat dengan pak haji (H.
Nurhasan), kita sudah ditunggu disana!”. H. Nurhasan yang biasa
dipanggil “abah” menjawab: “ayo kita kesana!”.
Setelah dimulai para kyai tersebut bertanya :
“pak kyai Nurhasan, bagaimana pendapat bapak tentang orang yang tahlilan?”, H. Nurhasan menjawab singkat : “sae!”
“pak kyai Nurhasan, bagaimana pendapat bapak tentang orang yang ziarah kubur?”, H. Nurhasan menjawab singkat : “sae!”
“pak kyai Nurhasan, bagaimana pendapat bapak tentangkitab sulam safinah?”, H. Nurhasan menjawab singkat : “sae!”
“pak kyai Nurhasan, bagaimana pendapat bapak tentang orang yang pake usholli?’ H. Nurhasan menjawab singkat : “sae!”
“pak kyai Nurhasan, bagaimana pendapat
bapak tentang orang yang niat puasa membaca nawaitu shoumal ghodi?”, H.
Nurhasan menjawab singkat : “sae!”
Singkat cerita, akhirnya acara yang tadinya untuk debat, malah selesai dengan saling bersalaman dan bubar dengan baik.
Contoh fakta lagi adalah masalah bab
najis yang sering difitnahkah kepada LDII bahwa LDII menajis-najiskan
selain warganya, bekas sholat yang selain warga LDII langsung di pel,
bekas salamanan dengan selain warga LDII di cuci. Padahal setelah
ditelusuri dari ajaran H. Nurhasan pun dahulu tidak ada kefahaman
seperti itu (justru ditengarai/jangan-jangan ini adalah kefahaman
pendamping H. Nurhasan yang akhirnya menyatakan keluar dari LDII).
Salah satu ulama LDII KH. Kasmudi pernah menelusuri para sesepuh,
keluarga dekat H. nurhasan, Putra H. Nurhasan, bagaimana sih prakteknya
H. Nurhasan tentang urusan najis. Ternyata tidak “kejeron“.
Salah satu kyai di LDII KH. Solihun
pernah mendampingi H. Nurhasan di kapal laut selama 21 hari saat
perjalanan haji. Melihat dengan mata kepala sendiri bahwa H. Nurhasan
kalau sholat kalau saatnya sholat tidak selalu sholat di musholla, namun
di tempat yang layak dan beliau yakin suci untuk sholat tanpa
alas/lemek ya ndeprok saja sholat di situ, walaupun menurut akal mungkin tempat itu pernah dilewati orang yang baru keluar dari jeding (kamar mandi,red). Karena
ternyata beliau mempraktekkan hukum Alloh dan Rasulullah tentang
masalah/bab najis yaitu “idza roaitum binajasatin tahdutsu fiihi” ketika
kalian melihat dengan jelas ada najis jatuh di situ, melihat dengan
jelas ada kencing atau najis lainnya di situ, bukan “idza dzonantum
binajasatin tahdutsu fiihi” (ketika kalian menyangka/mengira ada najis
jatuh disitu”. Jadi bukan ro’yi/dzon/persangkaan. Rasulullah saja satu
rumah dengan pamannya Abu Thalib dan tidak pernah diceritakan
gantarnya/tempat cuciannya misah.
Nah, apalagi cuma salaman dan ada orang
mampir sholat di tempat LDII, ngapain juga harus di cuci, itu hanya
memberat-bertakan agama, padahal “addinu yusrun”. Jadi kalau
ditelusuri fakta yang sebenarnya, ulama besar yang dihormati LDII tidak
pernah memberikan ajaran yang aneh-aneh yang menyimpang dari Kitabillah
wasunnati Nabiyihi (Al-Quran dan Al-Hadits).
Tulisan berikut mengungkap fakta sosok
beliau yang sebenarnya dari berbagai sumber baik dari pelaku
sejarah/saksi hidup maupun dari tulisan-tulisan yang terserak di
berbagai sumber.
Abdul Aziz Al-Indunisy : “Dengan
Gencarnya Fitnah dan Cacian yang dialamatkan kepada KH. Nurhasan
Al-Ubaidah oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan beliau dalam
mengajak kepada masyarakat umat muslimin untuk menegakan hukum-hukum
Alloh yang telah tertuang didalam Al-Qor’an dan Al-Hadits. Insyaalloh
dengan Tulisan singkat ini dapat memberikan pencerahan dan informasi
yang berimbang mengenai sepak terjang beliau kepada masyarakat umum,
sehingga umat muslim pada khususnya dapat meneladani sifat-sifat dalam
perjuangan beliau mengajak umat Islam kembali kepada ‘garis-garis’ yang
telah digariskan Alloh kepada umat manusia sebagai jalan tunggal menuju
keselamatan di dunia dan akherot yaitu Al-Qor’an dan Al-Hadits”. (http://kaptenonta.blogspot.com/2011/09/kh-nurhasan-al-ubaidah-bin-kh-abdul.html).
“Beliau adalah seorang Mujaddid
(Reformis) dalam perjuangan Islam khususnya di Indonesia, kiprahnya
berawal sejak kepulangan beliau dari dua kota suci asalnya agama islam
(Makkah dan Madinah) sekitar tahun 1941. Perjuangan yang beliau jalani
sebagai Dai yang mengajak umat Islam di Indonesia kembali pada al-Qur’an
dan al-Hadits tidaklah mudah, banyak tantangan dan rintangan yang
sangat berat harus beliau hadapi, mendobrak penyimpangan aqidah umat
Islam di Indonesia yang sudah menjadi tradisi, walaupun umumnya
masyarakat Islam di Indonesia mengaku berpegang teguh pada prinsip
aliran ahlus sunnah wal jamaah akan tetapi dalam prakteknya mereka
banyak mengingkari sunnah Rasulullah SAW dan mereka melaksanakan
kewajiban sebagai umat islam dengan sendiri-sendiri (berfirqoh).
Gebrakan beliau membuat banyak para
tokoh agama Islam atau para kiai di Indonesia kebakaran jenggot, ajaran
beliau dinggap ancaman bagi eksistensi mereka, sebab jika dibiarkan umat
Islam menerima ajaran KH. Nurhasan untuk berpegang teguh pada al-Qur’an
dan al-Hadits bisa-bisa mereka akan ditinggalkan oleh umat. Maka
mulailah tuduhan-tuduhan dan fitnahan yang keji dilontarkan kepada
beliau, diantaranya dikatakan; kiyai gila, dajal uchul, PKI putih dll. (http://ubaidahlubis.blogspot.com/)
Untuk melengkapi fakta tak terungkap
tentang KH. Nurhasan Al-Ubaidah yang selama ini dihujat, tulisan Mas
Teguh Prayogo berikut kami kutip dari
blog ini :
Dalam sejarah perkembangan Islam di
Indonesia kita mengenal beberapa aliran islam mainstream dan
non-mainstream. Meski sudah sejak era Wali Songo islam mulai tersohor di
bumi nusantara, namun ternyata kekuatan gerak islamiyah lebih menyolok
di era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini ditandai oleh
munculnya beberapa harokah islamiyah garis keras, yang menginginkan
syariat islam ditegakkan di Indonesia dan menolak mentah-mentah hukum
positif warisan Belanda. Pergerakan ini tidak dilakukan oleh 2 (dua)
aliran islam mainsteam yang ada, melainkan oleh kelompok-kelompok islam
radikal semisal DI/TII, NII, dan kelompok Warman. Di bumi nusantara
bagian timur terkenal dipimpin oleh Kahar Muzakkar, dan di barat
dipimpin oleh SM. Kartosoewiryo.
Dari pemaparan beberapa pelaku sejarah
“Perang Janur Kuning Jogjakarta”, nama Kahar Muzakkar pun ikut
disebut-sebut sebagai salah satu pemimpin perebutan kemerdekaan terhadap
agresi Belanda di Sulawesi. Artinya, seorang Kahar Muzakkar yang pada
akhirnya dianggap sebagai pemberontak pun sebenarnya memiliki andil
terhadap bangsa ini dalam merebut kemerdekaan. Namun setelah bangsa ini
berangsur-angsur lepas dari penjajahan, seiring itu pulalah terjadi
konflik internal untuk mendaulat republik ini agar bersyariat islam,
atau dengan kata lain beberapa pihak terang-terangan ingin menjadikan
status negara ini sebagai salah satu negara Islam di dunia. Dalam
perjalanannya sangat disayangkan, kelompok-kelompok radikal ini
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Salah satunya adalah
menghalalkan mengambil harta benda milik rakyat Indonesia sendiri.
Sehingga bisa dibayangkan seperti apa isi pikiran rakyat Indonesia pada
waktu itu: “keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya?”. Wallahu
a’lam. Padahal kala itu juga pemerintah Indonesia masih dipusingkan oleh
agresi kedua Belanda tahun 1949, dan konflik kepentingan antara
presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dengan salah satu
tokoh pergerakan kemerdekaan, Tan Malaka.
Singkat cerita, pada pertengahan era
orde baru, ketegangan demi ketegangan memuncak, dimana friksi-friksi
yang terjadi antara pemerintah kala itu dengan beberapa kelompok islam
radikal ini akhirnya menyebabkan hampir seluruh organisasi berbasis
islam di indonesia otomatis dianggap oposan pemerintah. Walhasil,
kelompok-kelompok islam kecil lah yang banyak menerima imbas buruknya
dari pertikaian gerakan-gerakan islam dengan pihak otoritas pada waktu
itu dibanding kelompok-kelompok islam yang telah memiliki nama besar.
Diantara kelompok-kelompok dakwah islam yang masih kecil pada waktu itu
adalah Darul Hadits dengan beberapa kembangannya semisal YCI (Yayasan
Citra Islam), KSPI (Keluarga Studi Pemuda Islam), KADIM (Karyawan Dakwah
Islam), dan ASPI (Aspirasi Pemuda Islam). Darul Hadits sendiri
merupakan suatu kelompok pengajian Qur’an-Hadits yang dipimpin oleh
seorang ulama muda lulusan ma’had Darul Hadits di Mekkah Al-Mukarramah,
Nurhasan Al-Ubaidah bin Abdul ‘Aziiz (1908-1982). Konon kelompok
pengajian ini sangat peduli terhadap tauhid, akhlak, akidah, dan
pemurnian tata laksana peribadatan ummat islam kala itu yang masih
banyak dianggap menyimpang dari sumbernya: Qur’an dan Hadits
(as-Sunnah). Ditinjau dari sisi manapun, melalui perjalanan panjang
sejarah tandzim dakwah islamiyah ini, Darul Hadits eksis bertujuan untuk
membetulkan seluruh sendi pengamalan ibadah rakyat Indonesia yang masih
banyak menyimpang dari Qur’an dan Hadits, tanpa perlu melakukan
konfrontasi dengan pihak otoritas, orde lama, maupun orde baru. Tidak
seperti tudingan orang-orang yang tidak mengerti sejarah esensi
perjuangan amar ma’ruf nahi munkar-nya, mereka menuding bahwa Syeikh
Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah ingin mendirikan ‘negara dalam negara’.
Tapi sampai hari wafatnya, hal tesebut bahkan sama sekali tidak
terbukti.
Kaidah keislaman para muslimin di
Indonesia pada waktu itu dinilai masih banyak terikat dengan
kelakuan-kelakuan peribadatan yang sebenarnya bertentangan dengan
aturan-aturan Allah dan Rasul shallallahu ‘alaihi wassalaam dengan
pemaparan dalil-dalil syar’i olehnya. Era ini disebut-sebut sebagai era
“Babat Alas” [1]. Suatu masa dimana perjalanan amar ma’ruf nahi munkar
Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah kepada sanak famili, teman-teman, dan
sejawat-sejawat ulama dilalui dengan berbagai rintangan fisik maupun
metafisik, sebagai hasil dari metode amar ma’ruf nahi munkar-nya yang
dikenal keras. Beliau berpesan kepada para santrinya bahwa terkadang
amar ma’ruf nahi munkar itu memerlukan sikap yang tegas. Beliau pun
sangat bertanggung jawab terhadap reaksi masyarakat atas metode-nya itu,
dan memberi gambaran metode “babat alas” tersebut seperti ini:
“gambarannya seperti ada orang yang tertidur di bantalan rel kereta api,
sudah berkali-kali diperingatkan / diteriaki bahwa ada kereta yang akan
lewat, ia malah terlelap tidur. Akhirnya si orang tidur tadi
dibangunkan dengan cara paksa, yakni dengan diseret ke tepi agar ia
selamat. Meski pada awalnya orang yang tertidur tadi marah-marah karena
diseret paksa, namun bilamana ia sadar bahwa justru ia diselamatkan
hidupnya, insya Allah ia akan berterima kasih”.
Sering kali syeikh memberi motivasi
kepada para santrinya yang menemui banyak rintangan dan cobaan atas
‘hasil jerih payah’-nya beramar ma’ruf nahi munkar dengan beberapa
gandangan (bahasa Jawa: senandung) yang salah satunya adalah gandangan
“kembang turi”. Isinya kurang lebih begini: “kembang turi lak
melok-melok, sego wadang sisane sore, ora peduli wong alok-alok, sandang
pangan lak golek dewe”. Intisarinya adalah: jangan jatuh mental dalam
beramar ma’ruf nahi munkar, jangan pedulikan orang lain yang
mengolok-olok, toh urusan sandang dan pangan kita mencari sendiri, dan
tidak meminta-minta kepada mereka yang mengolok-olok. Meski terkesan
remeh, namun gandangan seperti ini merupakan warisan tradisi kejenakaan
yang cerdas ala kyai-kyai tradisional tanah Jawa dalam berkelakar namun
memiliki arti dan filosofi yang sangat dalam. Semisal teka-teki longan
(bahasa Jawa: kolong meja atau kolong tempat tidur). “Apakah longan itu
tetap ada jika meja atau tempat tidur dipindahkan? Jadi, apakah longan
itu benar-benar ada?”. Atau semisal KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang
pernah berkelakar pada acara pembukaan website Akbar Tandjung: “Kenapa
setiap orang berpidato selalu menyatakan: Mari kita panjatkan syukur?
Memangnya (si) Syukur nggak bisa manjat sendiri?” (Fachry Ali, Gatra,
Mei 2008).
Meski dijuluki mustadid (orang yang luar
biasa) oleh sejawat-sejawat ulama, Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah
rahimahullah bukanlah termasuk orang yang jummud (kaku), terkadang
syeikh menghibur santri-santrinya sebagaimana cerita yang berkembang
seperti; pernah suatu ketika dalam membangunkan santri-santrinya untuk
sholatul lail atau sholat malam (tahajjud), syeikh tidak segan-segan
berjoget menghibur santri-santrinya yang masih terkantuk-kantuk dengan
sapu ijuk, yang syeikh gambarkan sebagaimana kuda lumping. Dari hal
itulah tersirat, syeikh mencontohkan kepada santri-santrinya, bahwa
dalam suasana apapun orang-orang yang menegakkan hujjatullah harus tetap
gembira dan ceria, mesti dalam kondisi yang membencikan, atau dalam
kondisi sedang mendapat cobaan sekalipun dari Allah Ta’ala. Sebagaimana
anggota pramuka yang selalu menghibur dirinya di kala apapun: “buat apa
susah? buat apa susah? susah itu tak ada gunanya”.
Masih teringat dari beberapa saksi
sejarah perjalanan era “babat alas” semisal Al-Hafidz Syeikh Su’udi
Ridwan rahimahullah, maupun Syeikhul Hadits Kasmudi As-Shiddiqqy
bercerita bahwa seringkali Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah menerima banyak
‘bingkisan’ dari orang-orang, bahkan ulama-ulama tradisional yg tidak
sepaham dengannya berupa teluh, santet, dan benda-benda ‘terbang’ aneh
lainnya yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia modern. Semua
itu Beliau hadapi dengan sabar, tawakkal, serta yang paling penting
adalah doa. Tentang doa kepada Allah Ta’ala, dari penuturan Syeikh Nur
Asnawi rahimahullah, salah satu rekan menuntut ilmunya di Mekkah-Medinah
dulu, menceritakan bahwa syeikh sangat yakin akan doanya kepada Allah
Ta’ala. Pernah suatu ketika di Mekkah, ada seorang temannya kelaparan
tidak punya beras (makanan) untuk dimasak, akhirnya Syeikh Nurhasan
Al-Ubaidah berdoa agar Allah Ta’ala memberikan beras yang bisa untuk
dimasak saat itu juga. Walhasil, doanya maqbul. Allah Ta’ala mengabulkan
permintaannya!. Bagi kita yang awam memang agak sulit menerima
cerita-cerita ‘tidak masuk akal’ semacam ini. Namun kenyataannya memang
demikian, apalagi cerita ini diperoleh dari saksi hidup kala itu, Syeikh
Nur Asnawi rahimahullah. Bahkan salah satu santrinya yang saat ini
telah menjadi salah satu ulama di Pondok Pesantren Kertosono, Ustadz
Ubaid Khairi, pernah punya pengalaman spiritual yang sama seperti Syeikh
Nurhasan Al-Ubaidah, yakni langsung dikabulkan doanya semasa ia dan
keluarga sedang menghadapi kesulitan ekonomi. “Setelah bermunajat di
dalam bis kota yang mangantar saya dan anak istri pulang ke rumah. Allah
langsung memberi saya uang tunai. Bahkan saya dan keluarga bisa
mempergunakan uang itu untuk keperluan sehari-hari selama kurang lebih 2
(dua) bulan…”, tuturnya tatkala ia didapuk (bahasa Jawa: dinobatkan)
sebagai salah satu penyampai materi pada camping Cinta Alam Indonesia di
Cikole, Bandung, beberapa tahun silam. Cerita yang sama, di zaman yang
berbeda. Believe it or not.
Pada akhirnya sebagai manusia biasa,
Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah dipanggil menghadap Yang Maha
Kuasa pada Februari 1982 dan dimakamkan di pemakaman keluarga, Marga
Kaya, Karawang, Jawa Barat. Namun demikian warisan semangatnya untuk
menegakkan kalimatullah di negeri ini, agar Allah dan Rasul shallallahu
‘alaihi wassalaam tidak didustakan oleh setiap manusia, tetap ada dalam
diri sanubari masing-masing generasi penerus pejuang agama yang secara
ilmu-pun masih terlampau jauh ketimbang Beliau, yang diberi julukan
mustadid (orang yang luar biasa). Luar biasa, karena Beliau al-Hafidz,
menguasai bacaan Qiraatus-Sab’ah, mufassir yang mumpuni, menguasai
Mustholah Hadits, menguasai ilmu alat, mengerti taraf ilmu dari
terminologi wajib, sunnah, makruh, mubah, menguasai ilmu dari 49 perowi
hadits beserta sanad-nya yang muttashil sampai Baginda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalaam, gemar bekerja keras, tidak pernah takut
dengan kondisi kehidupan apapun kecuali hanya takut kepada Allah Ta’ala,
seorang hamba yang sangat percaya qodarullah dan nashrun minallah, ahli
dalam berdoa, ulama yang dicintai santri-santrinya sekaligus dibenci
oleh orang-orang yang belum bisa menerima al-Haqq ini secara utuh dan
murni, dan lain-lain. Namun jangan lupa satu hal, semua izzah itu
didapatkannya atas dasar usaha, kerja keras, dan kecintaannya terhadap
al-Haqq, tidak didapatkannya dengan cara santai, bersenda gurau,
main-main (lahan), atau dengan istirahatnya badan. Beliau menimba ilmu
agama ini sekitar 10 tahun di Mekkah-Medinah, dimulai pada tahun 1930-an
sampai tahun 1941. Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah tetaplah seorang hamba
Allah Ta’ala yang memiliki kekurangan. Namun kebajikan kebajikannya-lah
yang mesti diambil sebagai manfaat agar berkah Allah Ta’ala tetap atas
kita semua. “khoirun naasi man yanfa’uhum lin naas”, “sebaik-baiknya
manusia adalah yang banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya”.
Tahun berganti, zaman pun berubah.
Dimana manhaj (metode dakwah) Darul Hadits yang pertama kali datang pada
tahun 1941 di Indonesia, justru saat ini telah banyak orang dan
kelompok dakwah yang mengadopsinya. Diakui atau tidak, dari beberapa
ulasan dan website islam yang mudah ditelusuri, banyak individu-individu
dan ulama-ulama zaman ini yang pada akhirnya secara jujur maupun tidak,
mengerti bahwa pergerakan dakwah islamiyah mereka mempunyai kemiripan
dengan apa yang dulu digerakkan oleh Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah sejak
tahun 1941 di Indonesia, yaitu merujuk pada tata cara ibadah ummat islam
yang hakiki, yang wajib, yang menurut sumber aslinya: Qur’an dan
Hadits, tanpa harus tercampur aduk dengan adat istiadat warisan ummat
Hindu-Buddha atau Animisme-Dinamisme di Indonesia, yang justru bisa
menjadikan agama islam ini semakin jauh dari kemurniannya. Padahal jelas
dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan agar kita selalu memurnikan
agamanya… “mukhlishiina lahud diin”
Dalam salah satu buku terbitan Madani
Institute, manhaj yang berasal dari Jazirah Arab dan diwariskan oleh
Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah ini, dimasukkan ke dalam konteks
pergerakan salafiyyah (salafism). Yaitu pergerakan islam yang
menomorsatukan pemurnian islam, yang sebagaimana Rasullullah shallallahu
‘alaihi wassalaam dan sahabat-sahabatnya contohkan, sebelum akhirnya
islam sendiri terpecah belah. Dengan kata lain, manhaj yang merujuk pada
tata cara ibadah dari 3 generasi awal datangnya islam.
Apakah manhaj yang diadopsi oleh Darul
Hadits ini disebut ahlussunnah wal jamaah, salafiyyah, atau wahhabiyyah,
bukan merupakan issue yang substansial. Sebab sebagaimana kutipan
nasehat Syeikh Salih Fauzan rahimahullah, “siapapun bisa menyandang
gelar salafiyyun atau ahlussunnah wal jamaah, namun yang penting adalah
esensinya ibadahnya”. Tapi lucunya, kabarnya Darul Hadits dulu sempat
diberi beberapa julukan yang nyeleneh oleh orang-orang yang tidak
sepaham, dengan julukan semisal: Jamaah mbah Syuro, Jamaah Takfir,
Neo-Khawarij, Islam Puritan, Islam Jawa, Islam Murni, Wahhabi, PKI
putih, dan lain-lain. Namun hal itu tidak lantas menyurutkan potensi
amar ma’ruf nahi munkar sampai saat ini. Karena memang itulah cobaan
menjadi manusia yang beriman secara konsekuen kepada Allah Ta’ala.
Sangat cocok dengan dalil ini… “huffatul jannati bil makarih, wa
huffatun naari bis syahwat”, “surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang
membencikan… dan seterusnya”. Artinya, tidak mudah mencari surga Allah
Ta’ala. Pasti ada rintangan dan cobaan.
Namun pastinya, hingga sekarang soal penjulukan, gelar, atau penisbatan, kosa kata al-Manshuuriin, atau Thaifah al-Manshuurah
(golongan yang mendapat pertolongan Allah Ta’ala) lebih disukai bagi
hampir seluruh individu generasi penerus Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah,
daripada penggunaan kosa kata Salafi, Wahhabi, Ahlussunnah Wal Jamaah,
Madzhabiyyah, atau penisbatan lainnya. Sesuai pula dengan dalil dalam
kitabullah yang menyebutkan… “haqqun ‘alaina nunjil mu’miniina”, dan
hujjah ini… “maa yaf’alullohu bi ‘adzaabikum in syakartum wa aamantum”,
“wajib atas Kami (Allah) menolong orang-orang yang beriman”, dan
lain-lain. Tidak masalah dengan urusan julukan, karena pada akhirnya,
yang penting adalah bagaimana tata cara ibadah kita kepada Allah Ta’ala.
Julukan apapun tidak bisa dijadikan bekal bagi seseorang untuk berhasil
masuk surga, dan terselamatkan dari api neraka. Hanya amal ibadah dan
atas rahmatNya-lah yang menjadi penentu suksesnya manusia di kehidupan
akhirat nanti kelak.
Demikian sekilas cerita mengenai sosok
Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah, yang mungkin hal ini bisa jadi
merupakan suatu ikhtiar pemulihan nama baik terhadap berita-berita
miring yang selama ini berkembang mengenai diri dan metode dakwahnya,
yang pada kenyataannya malah bertentangan dengan apa yang telah syeikh
perjuangkan sampai akhir hayatnya. Suatu ikhtiar yang diilhami oleh
“Surat Surat Bersih Diri Muhammad bin Abdil Wahhab”.
Sehubungan dengan hal ini, sebagai
referensi agar kita lebih mengerti seperti apakah sosok seorang ‘alim
ulama (ahli ilmu) yang dipandang berkualitas, hebat, atau mumpuni, Imam
al-Shatibi rahimahullah lebih jauh telah menarik kesimpulan, bahwa ada 3
(tiga) karakteristik pokok seorang ulama yang dipandang berkualitas,
hebat, atau mumpuni:
1) Ia melaksanakan apa-apa yang ia ucapkan/ajarkan.
Telah terbukti bahwa Beliau selalu
konsekuen menjalankan apa-apa yang ia ajarkan kepada santri-santrinya,
tentunya semua yang sesuai dengan kaidah Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyas yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan Allah-Rasul. Bahkan
para santrinya meniru apa saja yang Beliau lakukan dalam beribadah
kepada Allah, dikarenakan mereka (santri) yakin bahwa amalan Beliau
tidak lepas dari Qur’an dan Hadits. Hal tersebut bukan termasuk taklid
membabi buta, karena selalu diiringi dengan ilmu. Bahkan menurut
kesaksian para orang-orang terdahulu yang pernah se-zaman dengannya,
Beliau mengeluarkan sayembara yang berlaku sampai akhir hayatnya: Beliau
bersedia memberikan motor bagi siapapun yang mengetahui bahwa ada amal
perbuatannya yang tidak sesuai dengan aturan Allah dan Rasul shallallahu
‘alaihi wassalaam. Subhanallah.
2) Ia sendiri mendapat ilmu langsung dari ulama-ulama terpercaya dan mumpuni dalam kapasitasnya sebagai ahli ilmu.
Dalam sanad-nya secara tersurat beliau
langsung menimba ilmu atau berguru langsung dengan para Masyaikh Darul
Hadits Mekkah Al-Mukarramah yang mu’tabar semisal Syeikh Umar Hamdan
(Abu Hafs Umar ibn Hamdan ibn Umar ibn Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi
Al-Maghribi al-Madani Al-Maki rahimahullah), atau Syeikh Abu Samah Abdul
Dhohir (Muhammad Abdul Dhohir ibn Muhammad Nuruddin Abu Samah At-Talini
Al-Mishri Al-Makki), dan lain-lain secara manqul [2] (as-sama’ dan
munawalah).
3) Santri-santrinya mengikuti
apa yang ia ajarkan. Jika santri-santrinya malah cenderung
meninggalkannya, hal ini otomatis menjadi pertanda bahwa ada sesuatu
yang salah dengan apa yang ia ajarkan. (ibid)
Alhamdulillah hingga saat ini semakin
banyak individu-individu, yang atas jasa Beliau pula lah, saat ini
mereka telah menjadi mubaligh-mubalighot yang tersebar tidak hanya di
Indonesia, namun juga di negara-negara regional seperti Australia,
Singapura, Malaysia, Suriname, Vietnam. Bahkan ilmu yang dibawanya dulu
dari Mekkah-Medinah, saat ini telah sampai pula di benua Amerika dan
Eropa. Mereka tetap memegang apa yang telah syeikh ajarkan kepada
mereka, yaitu ilmu agama yang murni berdasarkan Qur’an dan Hadits secara
manqul, musnad, dan muttashil. Mereka tetap memiliki kesamaan
pergerakan dakwah seperti Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah: amar ma’ruf nahi
munkar, basyiiran wa nadziiran, dan lillahi ta’ala demi tujuan mulia:
“wa tilkal jannatul-latii uurits-tumuuhaa bimaa kuntum ta’maluun”, “dan
demikian surga itu diwariskan sebab apa-apa yang kalian perbuat (di
dunia)”.
Mudah-mudahan semangat al-Manshuuriin yang pernah dicontohkan Syeikh
Nurhasan Al-Ubaidah
ini tetap melekat pada diri generasi penerus mu’miniin yang mencintai
Allah dan Rasul shallallahu ‘alaihi wassalaam diatas segalanya. Amiin
Yaa Dzal Jalaali Wal Ikram. Mohon maaf bilamana ada kesalahan. Semua
kesalahan dalam penulisan ini pastinya berasal dari diri penulis, namun
semua kebenaran tetap berasal dari Allah Ta’ala.
Wallahu Musta’an.
Walaa hawlaa walaa quwwata illa billah.
Sumber : http://www.jabar.ldii.or.id/