“Tuhan tidak akan membiarkan sekecil apapun kebaikan menjadi sia-sia. Berangkatlah dengan penuh keyakinan, berjalanlah dengan penuh keikhlasan dan istiqomah dalam menghadapi cobaan" - (Abdillah Irsyad El Nur)

Siapakah Orang yang Menyumbang Emas di Tugu Monas ?

Setelah sebelumnya aku pernah membahas tentang Misteri Sesosok Wanita di Api Monas, nah sekarang aku akan membahas salah seorang yang berjasa dalam pembuatan bangunan yang prestisius ini.

Nah teman-teman ada yang tahu nggak siapa yang sudah menyumbangkan emas yang besar itu untuk Tugu Monas ? Kalau kalian belum tahu, nih ada infonya.


Ternyata 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari Teuku Markam , salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia.

Orang-Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.

Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai sekarang pun, jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.


Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama. Tahun 1985 ia meninggal dunia. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.

Siapakah Teuku Markam ?

Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).

Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain. Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.

Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.

Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.

Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.

Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.

Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.

Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.

Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.

Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.

Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.

Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari.

Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.

Proyek Bank Dunia

Sekeluar dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain.
Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam "dianggap" angin lalu.

Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.




Rampak Naong; Falsafah Hidup Damai ala Orang Madura


Rampak naong adalah falsafah masyarakat Madura. Lengkapnya falsafah ini  berbunyi, “rampak naong, beringin korong”. Arti bebasnya kira-kira, “rindang dan teduh”. Frase ini memang menunjuk pada pohon yang dulu paling saya benci; BERINGIN. Sebuah pohon dengan akar yang kuat, batang kokoh, teduh dan rindang, meski menurut mitos orang Madura banyak makhluk halusnya. 

Rampak naong makin terkenal karena menjadi nama group musik. Saya sendiri tidak tahu, apa personelnya dari Madura? Terus terang, saya cuma tahu namanya. Sampai sekarang, satu pun saya belum pernah denger lagunya.

Di jakarta juga ada yayasan rampak naong. Sebuah yayasan tempat berhimpunnya masyarakat Madura. Dulu ketika kuliah saya pernah menghadiri acaranya, kalau gak salah halal bihalal. Ketika itu yang jadi MC kocak, Pepeng Si Jari-jari. MC ngetop pada masanya.

Sebagai orang Madura, saya merasakan betul bagaimana orang luar menempatkan saya dalam citra yang penuh prasangka. Satu hal yang saya pikir kontraproduktif dengan konteks keindonesiaan yang plural. Atau dengan gagasan multikultural, yang justru kadang-kadang dicederai oleh orang yang paling getol mengkampanyekannya.

Salah satu prasangka yang melekat betul dalam alam bawah sadar orang luar, Madura = kekerasan. Carok ditunjuk sebagai mekanisme penyelesaian masalah yang menggunakan kekerasan paling sempurna.

Ah..lengkap sudah saya menjadi terdakwa. Pada hal asli saya lembut. Selembut (minus kama) sutra. Hi..hi..
Saya juga heran. Jika Anda membaca berita di koran, 1 orang mati akibat carok pasti bulu kuduk Anda berdiri. Yang terbayang dalam benak Anda adalah clurit, senjata yang mirip tanda tanya. Ih.. serem. Tapi jika Anda mendengar 10 orang mati akibat terbunuh senjata pistol, Anda biasa saja. Maksud saya bulu kuduk tidak semerinding merespon celurit. Apa karena pistol senjata modern? Ah jebakan simbol ternyata dahsyat. Pada hal bahaya membunuhnya lebih dahsyat ketimbang celurit yang dianggap senjata tradisional itu.
 
Nah, sekarang saya mau mengajukan pembacaan lain. Membunyikan suara yang mungkin dari dulu tak pernah terdengar. Ya..rampak naong. Satu falsafah yang menegaskan bahwa orang madura suka damai. Seteduh pohon beringin. Sedamai semilir angin yang menumpuk di rindangnya.

Sebagai frase yang menunjuk pada pohon beringin (maaf bukan dalam makna politis), pohon ini bisa menjadi tempat bagi siapapun yang ingin berteduh. Siapa saja yang ingin bernaung sambil merasakan semilir angin yang menyejukkan. Sambil asyik berbincang, sesekali bersenda gurau, atau sekedar berembuk dari permasalahan remeh sampai yang serius. Terserah mau duduk bersila atau selonjor, silahkan. Namanya juga di bawah pohon.

Karena rampak naong ini pula, sampai detik ini, tak ada kerusuhan SARA di pulau Madura. Orang China yang beragama Hindu, Budha, Kristen, Katholik atau yang sudah menjadi muslim, ras Arab, India, Pakistan yang beragama Islam hidup berdampingan dengan orang Madura. Damai, sejuk, dan penuh toleran. Kehidupan yang sangat kontras dengan stigma kekerasan yang disandangnya.

Mengapa Masyarakat Madura Identik dengan Sarung ?


Hahahaha .... ingin tertawa rasanya ketika teman saya yang dari jawa bertanya tentang "kenapa sih orang Madura itu suka pakai sarung?" Ya itu memang budaya yang sudah turun-menurun ada dalam masyarakat di Madura. Karena memang kultur Islam di Madura sangat kuat, jadi sarung tidak hanya dijadikan alat untuk beribadah saja, tetapi juga dijadikan sebagai identitas dirinya seorang Islam. Saking cintanya , sampai-sampai dikehidupan sehari-hari mereka tak pernah lepas dari mengenakan sarung. :D
Bagi orang Madura sarung bukan sekedar pakaian. Sarung adalah madura itu sendiri. Secara berkelakar pelawak lokal di Madura menyebut fungsi sarung melebihi ideologi. “kalaupun punya ideologi, tapi gak punya sarung, dingin dong kalau hujan”.
Memang sarung bagi orang Madura –lebih-lebih masyarakat pedesaan— melampaui fungsinya sebagai pakaian. Jika musim hujan, sarung seperti melebihi selimut. Agar sarung bisa menutupi seluruh badan sejak kaki hingga kepala, orang Madura biasanya tidur setengah  “melingkar” seperti udang, dengan sedikit memaksa menekuk badannya. Dengan cara seperti itu, cuaca dingin bisa dilawan. Di samping karena bahan sarung terbuat dari katun yang hangat, kehangatan badan terbekap oleh tutupun erat sarung yang membungkus seluruh badan.
Sarung juga identitas. Saya melihat mungkin tak ada suku (muslim) di Indonesia yang begitu setia menggunakan sarung seperti orang Madura. Bagi muslim lain, mungkin sarung yang umum hanya digunakan ketika  mau shalat. Di Madura tidak. Sarung menjadi identitas. Meski tidak bisa digeneralisir, bolehlah dikatakan sarung itu identitas kemaduraan. Wajar, jika orang Madura melakukan perjalanan dan (terpaksa) menggunakan celana, pasti di tasnya tidak lupa diselipkan sarung. Bahkan sampai sekarang, banyak sekali orang Madura yang mungkin saja tidak memiliki satu pun celana.
Kembali ke pertanyaan kawan saya di awal tulisan ini, yang manarik bagi saya bukan pertanyaannya. Tetapi kenapa kawan saya bertanya seperti itu (?) Jawabannya tentu tidak tunggal. Bisa jadi sekedar ingin tahu asal-usul.
Cuma saya harus menjelaskan pertanyaan itu  dalam konteks budaya kawan saya sebagai pembacanya. Ia tinggal di Jakarta. Sebuah kota yang menjadi kiblat dalam keberhasilannya mengikis semua tradisi. Tradisi itu menghambat. Tradisi jadul, kuno, norak. Tradisi itu harus dipinggirkan untuk bisa memuluskan laju modernisasi dengan budayanya yang civilized, yang baru, yang segar, yang rasional.
Jika (pemakai) sarung kemudian ditatap secara nanar, karena ia dipandang tidak –atau kurang—civilized. Ada perasaan iba, kasihan, atau pembacaaan lain yang cenderung underestimate. Pemakai tradisi pasti “megap-megap” menghadapi era modern dengan laju progres-nya, demikin mungkin dalam benaknya si pembaca.
Inilah juga yang terjadi ketika Kepala Sekolah Negeri  dibuat "gelisah" oleh sarung. Saat berkunjung ke pesantren, kasek negeri itu mengeritik guru yang bersarung sebagai "tidak disiplin". Sarung menurutnya, kurang patut dibawa mengajar ke dalam ruang kelas. Tapi ketika guru balik menanyakan, apa hubungannya antara “sarung” dengan kedisiplinan (?), kasek itu diam.

Ah..sarung ternyata bukan sekedar pakaian.

Menelusuri Budaya "Carok" di Madura


Siapa sih yang gak pernah denger "carok" ? Pasti begitu mendengar kata-kata tersebut orang-orang akan langsung berpikir tentang Madura. Ya, budaya carok memang merupakan budaya yang ada di kalangan orang-orang Madura. Mau tahu lebih lanjut tentang budaya tersebut, mari kita simak rubrik berikut ini. Sehingga kita tidak selalu menganggap negatif tentang budaya carok tersebut.

Carok adalah tradisi pembunuhan karena alasan tertentu yang berkaitan dengan harga diri dan kemudian diikuti oleh antar kelompok atau antar-klan menggunakan senjata (biasanya celurit).

Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal dan ilegal. Ini adalah bagaimana orang Madura dalam mempertahankan harga diri dan “keluar” dari masalah yang rumit.

Biasanya, “carok” adalah cara terakhir oleh masyarakat Madura dalam memecahkan masalah. Carok biasanya terjadi ketika masalah datang yang menyangkut kehormatan / kebanggaan bagi orang-orang Madura (sebagian besar disebabkan ketidaksetiaan dan martabat / kehormatan keluarga)

Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meskipun orang Madura sendiri kental dengan agama Islam secara umum, namun, secara individu, banyak yang masih memegang tradisi carok.

Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’.

Banyak orang yang takut ketika bertemu dengan orang-orang Madura, mereka beranggapan bahwa orang Madura sangat keras, sangar, dan pemberani. Anggapan ini berawal dari tradisi yang sangat terkenal di Madura yaitu “Carok”. Peristiwa ini terjadi apabila seseorang bersitegang dengan orang lain. Karena prinsip orang Madura itu “Lebih baik pote tolang dari pada pote ateh”, yang artinya lebih baik putih tulang dari pada putih hati, makna dari kalimat ini adalah lebih baik mati dari pada harus menanggung malu.

Prinsip inilah yang membuat orang Madura tempramental, karena mereka tidak mau malu di depan orang, jika mereka di buat malu pasti mereka akan sangat marah, sampai akhirnya bersitegang dan akhirnya “Carok”.

Menelusuri Sejarah Carok dan Celurit Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan). Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut.

Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok? Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit.

Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.

Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit. Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.

Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda. Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.

D. Zawawi Imron (Sang Celurit Emas Dari Madura)



Pendahuluan

Ketika kebanyakan teman-teman peserta “Lomba Menulis, Tokoh Yang Mengispirasi 2010” berlomba-lomba mengambil figur/tokoh luar negeri, penulis mencoba mengulas tokoh daerah asal penulis sendiri yaitu Madura, dalam partisipasi kali ini demi menyemarakkah dan demi mensukseskan lomba “Lomba Menulis, Tokoh Yang Mengispirasi 2010”. Adalah D. Zawawi Imron yang menurut penulis telah banyak menginspirasi penulis-penulis Madura dan bahkan penulis nasional sekalipun.

D. Zawawi Imron yang hanya bisa mengenyam Sekolah Rakyat (SR) karena terkendala biaya pendidikan untuk melanjutkan sekolah, bahkan beliau sampai sekarang tidak hafal bulan dan tanggal berapa beliau dilahirkan. Tapi demi ilmu dan pada khususnya pada dunia sastra kecintaannya tak patah arang begitu saja, beliau rela berjalan sejauh satu kilo meter demi membaca puisi di koran harian.

Dan hasil jerih payahnya pun tidak sia-sia, beliau sukses dengan puisi-puisinya yang memukau dengan tema-tema daerah yang mampu memnggentarkan kesusastraan nasional dan bahkan dikancah kesusastraan Internasioal. Tapi bukanlah D. Zawawi Imron jika sudah sukses dengan nama besarnya lantas melupakan desa kelahirannya. Nama boleh melambung hingga Internasional, tapi kecintaan pada Madura tetaplah tertanam dalam dada, itu terbukti, hingga kini beliau masih tetap tinggal di rumah sederhananya di desa Batang-Batang, ujung timur pulau Madura, kabupaten Sumenep.

D. Zawawi Imron mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Beliau yang tidak sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR, setara dengan Sekolah Dasar), lalu beliau melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Hingga pada akhirnya kumpulan sajaknya “Bulan Tertusuk Ilalang” menginspirasi Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak dengan judul yang sama “Bulan Tertusuk Ilalang”. Kumpulan sajaknya “Nenek Moyangku Airmata” terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.

Pada 1990 kumpulan sajak “Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata” terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Buku puisinya yang lain adalah “Berlayar di Pamor Badik” (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia yang diatanranya ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Saat ini beliau menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). Beliau banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). 

Hingga kini, beliau masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.


D. Zawawi Imron Dalam Inspirasi

Zawawi Imron adalah seorang penyair penting Indonesia yang sangat produktif, tanpa pendidikan dan pergaulan intelektual yang memadai. Tidak seperti banyak pernyair Indonesia, beliau tetap memilih tinggal di desa kelahirannya, tempat inspirasi bergumul dengan imajinasi yang kemudian diolahnya menjadi konstruksi estetis yang sangat memukau.

Dalam hubungannya dengan kepenyairan beliau, yang paling penting dari desa kelahirannya ialah kekayaan alamnya —kekayaan alam di mata seorang penyair. Sudah barang tentu terdapat hubungan kompleks antara alam desa dengan kepenyairan beliau, yang tidak mungkin direduksi menjadi sekedar hubungan kausalitas linear. Tapi apa pun bentuk hubungan itu, desa Batang-Batang pastilah memiliki arti penting bagi beliau.

Orang cenderung tergoda untuk membandingkan puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan puisi-puisi Abdul Hadi W.M. karena mereka berasal dari daerah yang sama, di samping karena keduanya sama-sama mangangkat Madura dalam karya mereka. Ketika membicarakan penyair-penyair Indonesia dekade 1970-an yang belum benar-benar menonjol, A. Teeuw mengatakan bahwa D. Zawawi Imron adalah “seorang penyair dari Madura, dengan mutu sajak-sajaknya yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi” 

Meskipun demikian, sajak-sajak beliau tetap relatif jarang dibicarakan atau dibahas dalam publikasi-publikasi luas dan terbuka, kecuali penelitian-penelitian akademis untuk keperluan tugas-tugas akhir kesarjanan di beberapa universitas, khususnya oleh Subagio Sastrowardoyo khusus untuk Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Air Mata (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 208-221). Seraya mengatakan bahwa secara subjektif Subagio menyukai puisi-puisi beliau, dia menunjukkan pula keganjilan-keganjilan imajinya, yang menurut Subagio mengurangi tenaga ucap puisi-puisi beliau sendiri. Tapi dia segera mengatakan bahwa apa pun wujud puisi-puisi beliau, dia tetap mencintainya. Sebab bagaimanapun, bagi Subagio (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 219-220), D. Zawawi Imron telah mencapai kematangan mengucap dan bersikap. Bahasa puisi bukan soal kata-kata dengan bunyi dan makna denotatif dan konotatifnya belaka, tetapi juga soal angan-angan yang timbul dari konteks kata, serta struktur yang merupakan kebulatan dan kepaduan bicaranya. Dan D. Zawawi Imron telah berhasil mencapai pengucapan pribadi yang khas itu.

Orientasi D. Zawawi Imron sebagai penyair yang mengerahkan energi kreatifnya untuk menghadirkan Madura dalam puisi Indonesia dengan memetik diksi alam dan budaya (tradisi) Madura agaknya merupakan upaya untuk menelisik manusia dan kehidupan sosial masyarakat Madura. Dalam hal ini manusia dan masyarakat Madura hidup di dua alam, yakni alam budaya modern (kota) dan budaya tradisi (kampung). Itu sebabnya hubungan desa dan kota menjadi tema utama yang digelisahkan beliau, selain tema eksistensi diri beserta kegelisahan, kesunyian, dan perenungan hakikat hidup yang menyertainya. Jika dilihat dari sudut ini, ada banyak puisi beliau yang sesungguhnya merupakan protes sosial meski dilantunkan sebagai nyanyian pilu, bukan teriakan dari tangan yang dikepalkan.

Hubungan antara desa (tradisi) dan kota (modernitas) dalam puisi-puisi beliau agaknya memang merupakan masalah sosial yang membelit manusia (masyarakat) Madura dewasa ini. Desa yang sunyi, miskin, dan terlupakan dengan sendirinya mendorong beliau bertanya, misalnya, arti kemerdekaan bagi orang dusun (“Puisi Hitam”), kemiskinan dan nasib menyedihkan di tanah Madura yang kerontang (“Dari Kamal ke Kalianget”), kebiasaan merantau dan kesepian para petani (“Pengembara”), makna dan hakikat merantau untuk menghapus kemiskinan, memperluas persahabatan dan memperdalam pengalaman (“Ayah”), dan nasib tragis yang mengharukan bagi orangtua/kakek-nenek yang ditinggal anak/cucunya mengembara/merantau (“Mawar dan Nenek Tua”).

Seperti umumnya kondisi daerah-daerah di Indonesia, Madura dalam puisi-puisi beliau hadir sebagai masyarakat yang dirundung kemiskinan. Sebagaimana juga terlihat dari puisi-puisinya, baik eksplisit maupun implisit, kemiskinan itu terjadi karena pembangunan di negeri ini terlalu berpusat di kota-kota besar, terutama Jakarta, bahkan ketika era Reformasi atau politik desentralisasi (otonomi daerah) sudah hampir 10 tahun kini bergulir. Di Indonesia kata “daerah” sering langsung berkonotasi negatif karena merupakan tanda kemiskinan, pinggiran, udik, kurang beradab, kurang maju, terbelakang, baik dalam hal pendidikan, kesehatan, maupun kesejahteraan. Orang-orang daerah dalam konteks ini dapat dikatakan mengalami semacam perasaan homeless karena di satu sisi berhadapan dengan dunia modern (budaya kota) yang tidak mudah untuk dimasuki, di sisi lain akar budaya (tradisinya) mulai lepas dari jiwa dan raganya.

Gambaran kondisi Madura sebagai daerah miskin dan terpinggirkan memang tidak sulit ditemukan dalam puisi-puisi beliau. Akan tetapi, meskipun Madura itu miskin, ternyata penduduknya amat mencintainya sehingga mereka yang merantau selalu merindukan untuk kembali ke kampung halaman. Pulang menjadi sesuatu yang dirindukan karena meskipun Madura itu miskin dan kerontang, pada akhirnya merupakan tempat yang kepadanya segala cinta dan luka dilekatkan. Madura —perhatikan puisi “Madura, Akulah Lautmu”, “Madura, Akulah Darahmu”, atau puisi “Ibu”— bagi beliau rupanya adalah darah, tangis, jantung, dan hati yang senantiasa memompa gairah hidup orang Madura meskipun dalam kondisi miskin, kesepian, dan terlupakan. Dalam penggambaran semacam ini terasa nada umum puisi-puisi beliau adalah semacam ode (pujaan) untuk “tanah air” atau “tanah kelahiran” yang bernama Madura itu.

Selain mencintai dan memuja Madura, beliau adalah penyair yang amat mencintai dan memuja sosok ibu, baik ibu sebagai ibu biologis maupun ibu sebagai “spirit” yang dalam hal ini boleh jadi adalah Madura sendiri. Bagi beliau, ibu (perempuan) tegas memiliki makna luhur sehingga leluhurnya (kesedihan, penderitaan) adalah nenek moyang (nenek moyangku airmata, katanya!). Maka, beliau tidak menyebut leluhur dalam pengertian manusia pendahulu dengan sebutan “nenek moyang”, melainkan “kakek moyang” karena nenek moyang adalah air mata (Madura) itu.

Jika dilihat dari cara bertutur, puisi-puisi beliau umumnya bersifat (puisi) lirik. Oleh karena itu, ia tidak lain adalah seorang penyair lirik yang memiliki kepekaan kuat terhadap geliat dan “putih tulang” kata yang disentuhnya. Dalam puisinya “Bantalku Ombak Selimutku Angin” terdapat pula sejumlah puisi naratif-dramatik atau paling tidak paduan lirik-naratif, seperti tampak pada puisi-puisinya yang mengisahkan suatu peristiwa, termasuk ode untuk para pahlawan, leluhur, dan sejenisnya. Namun, kekuatannya dalam menemukan kata, menyusun kata-kata dalam suatu rangkaian majas yang segar, tidak bisa tidak memperkuat keberadaannya sebagai penyair lirik penting di Indonesia.

Sudah dikatakan di muka, secara umum puisi-puisi beliau adalah puisi-puisi yang memperlihatkan rasa cinta yang dalam terhadap alam budaya Madura. Dengan mengambil contoh puisi “Madura, Akulah Darahmu” dan puisi “Ibu”, melalui esei “D. Zawawi Imron: Duta Madura untuk Sastra Indonesia” Jamal D. Rahman, bahkan menegaskan bahwa cinta beliau terhadap Madura adalah cinta yang aktif, hal yang berbeda dengan cinta pada sosok ibu yang bersifat pasif.

Cinta yang mendalam dan aktif terhadap Madura itulah yang membuat beliau terus berproses menulis puisi yang senantiasa berakar pada alam dan budaya Madura. Dalam banyak puisi-puisi beliau tegas terasa bahwa sepahit apa pun kampung halaman tetaplah tampil sebagai kampung halaman yang dirindukan. 

Penutup

D. Zawawi Imron adalah “penyair Madura” par excellence. Penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Yakni penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat beliau akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga beliau bisa memaknainya secara intens dalam sajak. Yang lebih penting adalah bahwa beliau tampak melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekatnya: pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, dan lain-lain. Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa paling awal karir kepenyairan beliau.

Madura terasa kental mewarnai puisi-puisi beliau terutama yang terkumpul dalam Semerbak Mayang (1977) Madura, Akulah Lautmu (1978), dan dan Tembang Dusun Siwalan (1979) —yang kemudian diterbitkan kembali bersama sejumlah puisi lain dalam “Bantalku Ombak Selimutku Angin” (1996). Semua judul antologi tersebut menyiratkan warna lokal Madura. Lebih dari itu, judul antologi puisi terakhir sengaja diambil dari lirik nyanyian tradisional Madura, yang menyiratkan pengakuan penyair bahwa beliau secara sadar memang menimba dari sumber-sumber Madura untuk puisi-puisinya dalam buku tersebut.

Bahkan beliau bukan saja mengakui Madura sebagai sumber inspirasi puisi-puisinya, melainkan juga “mengankat” atau mengklaim dirinya sebagai laut dan darah Madura itu sendiri. Beliau memberi judul kumpulan puisinya “Madura, Akulah Lautmu”, lalu menulis sebuah sajak berjudul “Madura, Akulah Darahmu”. Klaim yang sepintas terkesan ambisius ini seakan menegaskan bahwa beliau adalah duta Madura dalam puisi dan sastra Indonesia modern. Sejauh ini, klaim tersebut mungkin tidak berlebihan, mengingat beliaulah penyair (Madura) yang paling rajin menggali kekayaan alam Madura —sekali lagi: kekayaan di mata seorang penyair— untuk keperluan sajak-sajaknya. Dan melalui beliaulah Madura hadir secara lebih kaya dan elegan dalam khazanah puisi Indonesia.

Berbeda dengan kebanyakan sastrawan Indonesia yang tidak betah di “kampung halamannya”, D. Zawawi Imron hingga kini menetap di Madura dan terus menulis puisi dengan muatan keMaduraan. Adakah ia merasa jemu sebagaimana Ajip Rosidi dan sastrawan lain yang kemudian menjadi “Malinkundang”, sebagaimana tampak pada banyak karya sastra kita?!

Mungkin hanya beliaulah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun, patut dicatat bahwa beliau tidak melulu hidup dan menulis tentang Madura. Beliau intens menulis khazanah Bugis-Makasar (Berlayar di Pamor Badik, 1994), menulis persentuhannya dengan Eropa (Refrein di Sudut Dam, 2003), bahkan menulis masyarakat Gorontalo (Zamrud Serambi Madinah, 2004). Dengan kata lain ia “merantau” juga ke alam budaya di luar Madura, sekaligus mengembara ke banyak kota dan daerah, baik di Indonesia maupun di mancanegara.


DATA DIRI D. ZAWAWI IMRON

Nama : D. Zawawi Imron
Lahir : Sumenep, Madura, 1945 [tanggal dan bulan tidak diketahui]
Agama : Islam

Pendidikan
• Sekolah Rakyat (tidak tamat).
• Pesantren Lambicabbi, Gapura, Sumenep

Jabatan Saat Ini
• Penyair.
• Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri Yogyakarta
• Penulis Tetap Kebudayaan Jawa Pos

Karya Kupulan Puisi:
• Semerbak Mayang (1977)
• Madura Akulah Lautmu (1978).
• Dusun Siwalan (1979).
• Celurit Emas (1980).
• Bulan Tertusuk Ilalang (1982), [yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama].
• Nenek Moyangku Airmata (1985), [mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K].
• Derap-derap Tasbih (1993).
• Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996).
• Lautmu Tak Habis Gelombang (1996).
• Madura Akulah Darahmu (1999).
• Berlayar Di Pamor Badik (1994).
• Kujilat Manis Empedu (2003).
• Refrein di Sudut Dam (2003).
• Zamrud Serambi Madinah (2004).

Buku:
• Keajaiban Haji (1999), [ditulis bersama A. Mustofa Bisri]
• Unjuk rasa kepada Allah (1999)
• Sate Rohani dari Madura: Kisah-kisah Religius Orang Jelata (2001)
• Soto Sufi dari Madura: Perspektif Spiritualitas Masyarakat Desa (2002)

Penghargaan
• Nenek Moyangku Airmata mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K tahun 1985.
• Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K (1985).
• Hadiah utama penulisan puisi ANteve (1995)
• Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002)


Sumber Rujukan
1.      http://id.wikipedia.org/wiki/D._zawawi_imron 
2.      http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/zawawi.html
3.      Rahman, Jamal D. 2001. “Duta Madura untuk Sastra Indonesia”. Artikel dalam Jurnal Puisi No. 1 Tahun 2001

Madura, Akulah Darahmu

Puisi karya D. Zamawi Imron - Madura, Akulah Darahmu


"Madura, Akulah Darahmu” seutuhnya
Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.

(D. Zawawi Imron, 1996)

DOA I

Puisi karya D. Zamawi Imron - DOA I 


Bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
Rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
Membangkitkan gelombang lautan rindu
Menggebu menyala
Dan lagu-Mu yang gemuruh
Menyangkarku dalam garden-Mu

Biarkan aku menari dalam lagu-Mu
Gila lestari melimbang badan
Ah, hatiku tertindas gatal dan pedih
Meski nikmat semakin erat memelukku

Aku meronta dalam kutuk-Mu
Duhai, naung kasih-Mu melambai tangan

Sekali lagi kau kilatkan cahaya di tengah malam
Aku silau, hanya tangan yang menggerapai
Golang golek tubuhku dalam yakin
Ah, kegilaan begitu mesra
Tangis bahagia yang bersimbah di raut jiwa
Menggermang nyala bulu-bulu seluruh tubuh
Terbisik di hati puji syukur memanjat rindu

SAJAK GAMANG

Puisi karya D. Zamawi Imron - SAJAK GAMANG 

Dibiarkannya orang-orang merangkak
Selarat kerbau menarik bajak
Dibiarkannya cacing yang tak punya kuasa

Kalau anak-anak menyanyi tentang daun-daun hijau
Kagus, karena bapaknya parau bagai harimau
Musik dan gamelan kadang bikin gamang
Sungai dan hutan jangan diurus kancil atau siamang

IBU

Puisi karya D. Zamawi Imron - IBU 


Ibu,
Jika aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Ibu,
Jika aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Maka namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibuku dan aku anakmu
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu
Bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku

D Zawawi Imron, si Celurit Emas




Zawawi Imron merupakan Sastrawan Indonesia yang mengharumkan dan mengangkat citra Madura yang termaginalkan. Beliau patut diacungi jempol melihat pendidikan beliau yang tidak tamat sekolah, tapi mampu menjadi sastrawan Indonesia yang nama dan karyanya sudah di perhitungkan di tingkat Nasional dan Internasional.

Dilahirkan di Batang-batang, Sumenep, Madura, 1945, ( tidak diketahui tanggal dan bulannya ) , D. Zawawi Imron adalah sastrawan Indonesia. Ia pernah memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995). Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002).

D. Zawawi Imron mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982.

Sejak tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak "Bulan Tertusuk Ilallang". Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.

Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Buku puisinya yang lain adalah Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta).

Ini dia beberapa karya Zawawi Imron :

  • Semerbak Mayang (1977)
  • Madura Akulah Lautmu (1978)
  • Celurit Emas (1980)
  • Bulan Tertusuk Ilalang (1982; yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
  • Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985)
  • Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
  • Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)
  • Madura Akulah Darahmu (1999).